Nabi Luth diutus Allah kepada kaum Sodom, kaum yang berperangai lebih
rendah dari binatang. Tidak ada satu kaum pun sebelum mereka yang
memiliki keburukan moral seperti itu. Mereka adalah kaum yang
‘mempopulerkan’ perilaku homoseksual.
Nabi Luth memiliki istri bernama Wa’ilah. Semula ia adalah istri yang
baik. Namun, ia terpengaruh oleh seorang wanita tua yang menawarkan
kekayaan berupa emas dan perak. Syaratnya, Wa’ilah bersedia memberi tahu
kaum laki-laki dari penduduk Sodom jika ada lelaki tampan yang bertamu
ke rumahnya. Rumah Nabi Luth memang sering didatangi oleh laki-laki
dari kaum lain untuk bertamu. Di antara mereka ada yang masih remaja dan
tampan.
Wa’ilah hidup dalam kebimbangan. Di satu sisi sebagai istri seorang yang
mengaku rasul dan menentang perilaku seks menyimpang pada kaumnya,
tetapi disisi lain ia ingin hidupnya lebih baik dalam ukuran materi.
Rupanya nafsu duniawi lebih menguasai dirinya. Ia menerima tawaran
wanita tua itu. Ia meminta putrinya untuk memberitahu masyarakat setiap
kali ada lelaki tampan yang bertamu pada suaminya.
Sementara itu, da’wah Nabi Luth kepada kaumnya tidak menambah apa-apa
kecuali perlawanan dan kesombongan. Mereka terus-menerus melakukan
perbuatan keji. Suatu ketika Nabi Luth memohon pertolongan kepada Allah,
seperti dikisahkan dalam Al Quran, “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan
menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (QS. Al
Ankabut:30)
”Allah memeperkenankan doa Nabi Luth as , dan mengutus Jibril untuk
membinasakan mereka. Jibril datang ke Negeri Sodom dengan menyerupai dua
orang lelaki yang tampan. “Dia (Luth) merasa susah dan sempit dadanya
karena kedatangna mereka. Dan ia berkata: ‘Ini adalah hari yang sangat
sulit’.” (QS. Hud:77)
Nabi Luth as merasa khawatir dengan kedatangan kedua tamunya karena tahu
kebejatan moral kaumnya. Sementara bagi Wa’ilah ini adalah peluang
untuk mendapatkan pundi-pundi emas. Maka ia mengutus putrinya lagi untuk
memberitahukan kedatangan kedua pemuda tampan itu kepada kaumnya.
Keberingasan kaumnya itu memaksa Luth untuk segera membukakan pintu
rumahnya. Luth menawarkan putri-putrinya kepada kaumnya, namun mereka
tidak berminat sedikit pun kepada putri-putri Luth.
Tiba-tiba tamu itu berkata kepada Nabi Luth as: “Sesungguhnya kami
adalah ututsan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu
engkau.” Kemudian mereka berkata lagi: “Bukakan pintu dan tinggalkanlah
kami bersama mereka!”
Nabi Luth pun membuka pintu rumahnya. Kaumnya menyerbu masuk dengan
penuh kegilaan menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth as. Ketika itulah,
Jibril menunjukkan kelebihannya, ia mengembangkan sayapnya dan memukul
orang-orang durjana itu. Akhirnya mata mereka, tanpa kecuali buta
seketika. Mereka berteriak kesakitan dan bingung mencari arah.
Bertanyalah Nabi Luth as kepada malaikat Jibril: “Apakah kaumku akan
dibinasakan saat ini juga?” Malaikat menjawab bahwa azab akan ditimpakan
kepada kaumnya pada waktu Subuh nanti. Nabi Luth berpikir, bukankah
waktu Subuh sudah dekat. Jibril memerintahkan Nabi Luth untuk pergi
membawa keluarganya pada akhir malam nanti bersama keluarganya, kecuali
istrinya, Wa’ilah. Karena istrinya telah membantu orang-orang berbuat
kerusakan dan ia harus menerima akibatnya. Lalu turunlah azab atas diri
Wa’ilah beserta semua kaum Luth sebagaimana difirmankan Allah dalam Al
Quran:
“Maka, tatkala datang azab Kami, Kami balikkakn (kota itu), dan kami
turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) tanah liat dibakar
bertubi-tubi. Diberi tanda dari Tuhanmu dan siksaan itu tiadalah jauh
dari orang-orang yang zalim.” (QS. Huud: 82-83)
Na’udzubillah min dzalik. Kisah Wa’ilah ini mengajarkan kepada kita
bahwa janganlah kesulitan hidup membuat seorang istri bersekutu kepada
kebatilan dan menentang perjuangan suaminya sendiri. Wa’ilah adalah
istri durhaka yang telah terbujuk harta dunia dengan menggadaikan
kehormatan dan perjuangan suaminya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar